BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 09 Maret 2009

Pendidikan Indonesia Cenderung Bisnis

Saturday, 07 March 2009 PENDIDIKANIndonesia harus berbenah jika ingin bersaing dengan negara maju. Perubahan mindsetpelaku pendidikan harus diubah.

Pendidikan Indonesia relatif tertinggal dari negara-negara lain. Untuk kawasan Asia Tenggara (ASEAN) saja, Indonesia kalah dengan Singapura dan kini mulai disusul Malaysia. Universitas Indonesia, perguruan tertinggi di Indonesia, baru masuk 500 besar perguruan tinggi terbaik di dunia.

Masih banyak hal yang meski dibenahi jika ingin pendidikan kita bisa lebih maju. Anis Baswedan, Rektor Universitas Paramadina,saat memberikan makalah ”Education and Indutrialized Indonesia: Managing Educational Institutions” dalam seminar Education in Indonesia and Japan: Future Challenges and Opportunities” menyebutkan beberapa fakta yang menunjukkan betapa pendidikan Indonesia masih tertinggal dengan negara lain,terutama Jepang.

Anis menyebutkan, sampai saat ini, jumlah orang yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi baru berjumlah 4,1 juta orang.Jumlah ini tentu saja kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 210 juta jiwa. Jumlah lulusan S-3 alias yang bergelar doktor baru sekitar 9.000 orang.

”Bandingkan dengan jumlah doktor di China di mana per tahun mereka mampu meluluskan 13.000 doktor,” katanya. Fakta itu,disebutkan Anis yang juga pengamat politik itu adalah bukti rendahnya aksesibilitas pendidikan di Indonesia.Pendidikan hanya bisa dienyam oleh golongan yang mampu secara ekonomis.

Minimal kelas menengah dan kelas atas yang bisa mendapatkan pendidikan yang baik, terutama pendidikan tinggi. Anis punya perumpamaan yang menarik tentang pendidikan di Indonesia.Dia menggambarkan Indonesia adalah sebuah shopping mall yang besar. Banyak orang berlalu lalang di lantai bawah.Semuanya hendak bergerak naik ke lantai yang lebih atas.

Sayang, eskalator dan liftnya hanya terbatas sehingga yang bisa naik ke lantai berikutnya hanya orang-orang terbatas dengan jumlah yang kecil. Adapun sisanya yang berjumlah besar, bergerombol saja di bawah tanpa bisa bergerak ke mana-mana. ”Pendidikan kita itu yang eskalator dan lift yang terbatas itu,”paparnya.

Jika situasi ini terus dibiarkan, Anis menyebutkan, pendidikan Indonesia tidak akan punya fungsi untuk menjadi motor transformasi atau perubahan.Padahal, salah satu fungsi utama pendidikan di Indonesia melakukan perubahan dengan menciptakan kelas menengah baru yang berpikiran maju dan terbuka.

”Situasi ini akan membuat pendidikan tidak bisa lagi menjadi tangga bagi individu untuk naik kelas sosial.Kelas bawah sulit untuk naik jadi kelas menengah.Kalau ini terus terjadi, sulit untuk menciptakan kelas menengah baru.Yang bisa sekolah tinggi hanya mereka yang berasal dari keluarga kaya,”ucapnya.

Kondisi ini terjadi karena mahalnya biaya pendidikan di Indonesia.Pemerintah memang telah mengalokasikan dana pendidikan 20% dari APBN. Dana itu, sayangnya, masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan total APBN kita yang mencapai Rp200 triliun. Belum lagi penggunaan dana itu yang tidak tepat sasaran, efisien, dan efektif.

Mahalnya pendidikan,terutama pendidikan tinggi di Indonesia, Anis menyebutkan, disebabkan pendidikan yang berkualitas diserahkan sepenuhnya pada masyarakat, bukan menjadi tanggung jawab negara. ”Menurut UUD, seharusnya negara yang menyediakan dan bertanggung jawab atas pendidikan yang berkualitas pada warga negaranya,”katanya. Akibat diserahkannya pendidikan pada masyarakat, biaya pendidikan jadi mahal, meroket.

Sialnya,mahalnya biaya pendidikan itu harus ditanggung sebagian besar murid atau mahasiswanya. Murid atau mahasiswa tidak lagi dilihat sebagai calon yang bakal membawa perubahan bagi bangsa.Mereka dilihat sebagai costumeryang harus membayar mahal untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang mereka dapatkan.

”Itu kan bisa dilihat dari hampir semua perguruan tinggi yang menjadikan uang dari mahasiswa (tuition fee) sebagai sumber utama pendanaan mereka.Para pengelola perguruan tinggi itu masih belum mau dan cukup kreatif untuk mendapatkan sumber pendanaan dari bidang- bidang lain,”sebutnya.

Menurut Bachtiar Alam, Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia (UI),sudah saatnya para pengelola perguruan tinggi itu mengubah mindset mereka dengan tidak melihat pendidikan sebagai sebuah bisnis semata.Para pengelola pendidikan tinggi harus memikirkan sumber-sumber pendanaan lain, seperti dari dana hibah, atau dari kerja sama dengan perusahaan besar atau dari para donatur yang kaya.

”Prinsipnya, pendidikan itu bukan urusan bisnis semata. Pendidikan itu harus bisa jadi upaya untuk melakukan perubahan di masyarakat. Jadi, pendidikan itu harus bisa diakses semua golongan masyarakat. Mind set bisnis itu yang harus diubah. Kalau mind set itu masih terus dipelihara,maka pendidikan Indonesia tidak bakal memberikan kontribusi yang positif bagi semua bangsa,”sebutnya. (helmi firdaus)

0 comments: