BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 09 Maret 2009

Dibutuhkan Political Will Pemerintah untuk Meningkatkan Pendidikan

Saturday, 07 March 2009

SETELAH Jepang mengalami kekalahan di perang dunia kedua, Kaisar Hirohito mengumpulkan para panglima perangnya. Kaisar dengan nada sedikit gundah, bertanya kepada para panglimanya.

Apa yang harus dilakukan untuk membalaskan dendam dan sakit hati atas kekalahan itu. Para panglimanya, dengan sepakat memberikan jawaban yang sedikit aneh. Bukannya membangun kekuatan militer yang tangguh.

Para panglima itu malah menyarankan agar Jepang membangun kembali melalui pendidikan. Jawaban itu, setidaknya memberikan gambaran kepada kita bahwa Jepang bisa menjadi negara maju dan diperhitungkan dalam kancah global berkat pendidikannya. Pendidikan itu kemudian yang memberikan dampak pada seluruh aspek kehidupan negara di Asia Timur itu.

Kedua, ilustrasi itu juga memberikan kita panduan jelas bahwa pendidikan Jepang menjadi salah satu yang terbaik di dunia karena dukungan kehendak politik pemerintahannya. Tanpa dukungan politik penuh dari pemerintahannya, sulit rasanya membayangkan Jepang punya pendidikan sebagus sekarang ini.

Ketika dijajah Belanda, pendidikan tidak pernah menjadi prioritas pemerintahan Negeri Kincir Angin di Indonesia. Memang sempat ada politik etis, di mana pendidikan menjadi salah satu program utamanya. Namun, itu pun tidak pernah dilakukan secara sungguh-sungguh. Mungkin karena Belanda paham bahwa pendidikan adalah salah satu faktor yang bisa menimbulkan kesadaran akan nasionalisme.

Ketika dijajah Jepang meski tidak begitu lama, hanya 3,5 tahun, pendidikan juga bukan menjadi hal utama. Sayangnya, ketika Indonesia merdeka tahun 1945, pendidikan juga tidak menjadi prioritas utama pemerintahan waktu itu. Saat itu, pemerintah hanya fokus bagaimana membuat sebuah sistem pemerintahan yang mapan. Mau tidak mau, politik kemudian yang menjadi panglima.

Indonesia memang sempat mengalami masa yang banyak disebut sebagai masa yang paling demokratis dengan digelarnya Pemilu pertama tahun 1955.Namun kemudian berubah menjadi pemerintahan yang otoriter.Dampaknya pun membuat kondisi perekonomian kita menjadi memburuk.

Ketika pemerintahan Orde Baru, pendidikan juga tidak menjadi hal yang pokok dan mendasar untuk membangun sebuah bangsa.Padahal, dalam pembukaan UUD secara jelas disebutkan bahwa pendidikan itu adalah sarana utama untuk mencapai cita-cita tertinggi untuk mencerdaskan bangsa.Pada saat itu, bukan politik yang menjadi panglima,tetapi ekonomi.

Hampir semua bidang kemudian dibangun dengan pendekatan ekonomi. Indonesia waktu itu memang sempat mengalami masa kemakmuran. Barang-barang murah dan kesejahteraan masyarakat mengalami peningkatan. Sayangnya, fondasi ekonomi bangsa waktu itu bukanlah sekokoh yang diperkirakan. Perekonomian kita yang hebat itu ternyata dibangun atas dasar utang.

Di era Reformasi sekarang,kita masih belum bisa melihat dengan jelas, apakah pendidikan menjadi hal utama, pokok. Menjadi panglima. Meski, indikasi ke arah itu sudah mulai terlihat. Dalam UUD yang diamandemen disebutkan bahwa anggaran pendidikan minimal adalah 20% dari APBN. Sebelum kesepakatan itu dibuat, sempat terjadi tarik ulur yang cukup keras.

Kini, anggaran pendidikan memang sudah 20% dari APBN.Namun, jumlah itu masih kecil jika dibandingkan dengan pos-pos anggaran yang lain.Ini juga menjadi catatan penting bahwa pemerintah masih belum menunjukkan political will (kehendak politik) yang kuat dan bulat untuk memajukan pendidikan dan pada akhirnya memajukan bangsa.

Dalam situasi sekarang ini,sulit rasanya untuk membangun pendidikan tanpa political will yang kuat dari pemerintah. Sebab, pendidikan pada hakikatnya menjadi tanggung jawab sepenuhnya negara. Jika negara dan pemerintah tidak sungguh-sungguh berniat memajukan bidang ini, akan sulit bagi bangsa Indonesia untuk besar dan bersaing dengan bangsa lain.

Pendidikan kemudian hanya menjadi konsumsi terbatas bagi kelompok masyarakat yang berada.Orang-orang di luar kelompok ini, akan sangat sulit sekali mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa political will pemerintah, berupa kebijakan- kebijakan pro pendidikan. Jika ini terus terjadi, bangsa Indonesia tidak bakal berjalan ke mana-mana,hanya berputar-putar di tempat.Karena pendidikan yang diharapkan dan memang menjadi motor utama,tidak pernah diberi bahan bakar yang cukup.(*) * Disarikan dari ceramah seminar ”Education in Indonesia and Japan: Future Challenges and Opportunities.”

Oleh: Jamhuri Ma’ruf
Wakil Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta

0 comments: