BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 06 Mei 2009

Budaya Membaca dan Menulis Masih Minim Di Sekolah

Budaya Membaca dan Menulis Masih Minim Di Sekolah

Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan keunggulan)

Semua bahasa di dunia mempunyai empat aspek yaitu membaca, menyimak, berbicara dan menulis. Kemudian berdasarkan ekspresi, bahasa dapat diklasifikasikan kedalam dua bentuk yaitu bahasa lisan (oral) dan bahasa tulisan. Orang yang suka ngobrol dapat dikatakan sebagai orang yang berbudaya lisan dan yang senang menulis dan membaca maka merek dapat dikataan sebagai orang yang senang dengan budaya tulisan.
Budaya lisan adalah budaya orang kebanyakan dan ini adalah budaya berbahasa orang grassroot level- orang awam atau orang kebanyakan. Budaya ini kerap terjadi di warung kopi, di mall, sampai kepada ekspresi berbahasa yang dilakuan oleh kaum pria dan wanita yang asyik berbagi gossip.
Budaya lisan sangat bagus untuk selalu dikembangan dan dipertahankan, apalagi kalau mempunyai manfaat untuk saling berbagi. Namun budaya tulisan – membaca dan menulis- tentu lebih tinggi kualitasnya. Untuk bangsa Indonesia- dan mungkin juga di mana mana di belahan bumi ini - budaya tulisan hanya dilakukan oleh kalangan tertentu, yaitu oleh orang- orang yang terdidik dengan baik (atau kalangan intelektual). Mereka tidak terbiasa dan tidak tertarik melakukan ngobrol ngalor ngidul-ngobrol dengan topik mengambang melulu. Pastilah orang yang memilih budaya tulisan ini akan memiliki pola berfikir yang lebih kritis dan analitis - critical thinking and analytical thinking. Sementara orang yang terjebak ke dalam budaya lisan cenderung memiliki pola berfikir mengambang- atau global thinking- dan ini tentu bukan generalisasi untuk semua orang.
Bila seseorang ingin maju maka sangat tepat bila ia mengadopsi budaya tulisan- membaca dan menulis- sebagai kebiasaan dan kebutuhannya. Kebiasaan ini- seperti disebutan di atas- akan menjadikan seseorang bersifat analitis dan kritis dalam berfikir. Orang di negara- negara maju seperti di Singapura, Jepang, Australia, Eropa dan Amerika tentu saja mereka semua terbiasa hidup dengan budaya tulisan. Membaca dan menulis sudah menjadi konsumsi hidup mereka sehari- hari. Maka adalah juga ideal bila seseorang ingin maju maka mereka harus membiasakan diri untuk banyak membaca dan menulis,dan kemudian melakukan otodidak- belajar secara mandiri- serpanjang waktu.
Soekarno, Moh Hatta, Bj Habiebie, Gus Dur, dan lain- lain tentu saja mereka menjadi orang besar bukan secara kebetulan tetapi adalah karena mereka mengadopsi budaya tulisan melalui otodidak, belajar secara mandiri, dan belajar di lembaga pendidikan formal yang berbudaya atau berkualitas tinggi. Sementara Pramudya Anantatur, Buya Hamka, Haji Agus Salim,dan lain-lain, tidak pernah menempuh pendidian formal tinggi, namun lewat budaya tulisan secara otodidak telah tumbuh menjadi ilmuwan, budayan dan tokoh intelektual yang sangat berukalitas. Dapat dipastikan bahwa tentu saja mereka pada masa kecil tidak pernah bermimpi dan bercita- cita untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) seperti cita- cita sebahagian sarjana sekarang.
Dunia pendidikan, mulai dari SD sampai kepada Perguruan Tinggi pasti merupakan tempat yang tepat untuk membentuk setiap orang menjadi manusia yang terdidik. Agar menjadi lebih berkualitas maka mengadopsi budaya tulisan- banyak membaca dan banyak menulis. Lebih lanjut orang akan setuju untuk mengatakan bahwa dunia pendidikan dapat diidentikan sebagai pabrik otak. Di sini akan terdapat unsur- unsur seperti input, proses dan output. Proses dalam pabrik pendidikan ini berlangsung begitu lama. Pemerintah dalam hal ini meluncurkan program ”wajar”- wajib belajar- sembilan tahun. Yaitu proses pendidikan di tingkat SD dan SLTP.
Adalah merupakan suatu fenomena bahwa banyak masyarakat (orang tua) secara swadana dan swadaya menganjurkan dan mengirim anak- anak mereka ke Perguruan Tinggi. Maka proses pendidikan dalam pabrik otak bisa berlangsung selama 18 tahun. Banyak yang percaya bahwa kalau seseorang bisa sekolah lebih tinggi hingga tamat dari Universitas atau Akademi maka kehidupan mereka akan menjadi lebih baik Sertifikat atau ijazah yang diperoleh lewat Perguruan Tinggi bisa menjadi tiket mencari kerja. Menjadi karyawan di perusahaan besar, BUMN, dan menjadi PNS adalah mimpi sebahagian dari mereka saat masih kuliah dan setelah tamat dari Perguruan Tinggi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa karater anak didik sampai kepada karater mahasiswa di Perguruan Tinggi, mereka masih terperangkap ke dalam budaya lisan dan budaya tulisan terasa sebagai beban. Anak didik dan mahasiswa yang cendrung terperangkap dengan budaya lisan- dimana sepanjang hari aktivitas mereka hanya mengobrol, bercanda dan berdebat kusir- cendrung menjadi orang dengan fikiran dangkal dan mengambang (floating thinking), sementara mereka yang membiasakan diri dengan budaya tulisan tentu akan lahir menjadi manusia dengan pola berfikir kritis dan analitis.
Sebahagian kaum pendidik, yaitu guru- guru yang mengajar mulai dari Tk , SD, SMP, SLTA dan malah juga ada Dosen , sebahagian ada yang terjebak dan hanyut dalam budaya lisan. Budaya lisan- ngobrol dan berceloteh- terasa mudah dan budaya tulisan- membaca dan menulis- terasa melelahkan dan membosankan. Kalaupun ada kegiatan membaca dan menulis itu hanya sebatas melakukan tugas rutinitas yang dangkal sebagai seorang pendidik. Namun apabila mereka melakukan budaya tulis secara refleksi (renungan) dan menganalisa maka tentu mereka patut diberi dua acungan jempol.
Bila seluruh kaum pendidik bisa menyenangi kebiasaan membaca dan menulis maka tentu perpustakaan dan toko buku menjadi tempat yang amat menyenangkan dan mereka tentu akan pergi menuju tempat mendidik (sekolah) dengan tas yang penuh berisi buku buku, dan jurnal pendidikan. Tidak seperti fenomena yang terlihat sekarang dimana sebahagian guru datang keseolah membawa tas kecil seperti tas pergi ke pesta yang isinya cuma, sisir, lipstik dan dan cermin dan guru pria juga datang dengan gaya santai tersendiri pula.
Absennya budaya membaca dan menulis di kalangan kaum pendidik telah membuat mereka demam dengan budaya rekayasa, dan budaya yang hanya gemar mengejar manfaat sesaat. Sejak kebijaan serifikasi diluncurkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk memotivasi peningkatan kualitas pendidikan. Namun kaum pendidik termotivasi hanya untuk mengejar selembar tiket yang bernama ijazah dari perguruan tinggi. Usaha yang mereka lakukan, tentu saja bagi semua orang, adalah dengan cara ”mencontek atau mencari joki” agar bisa lulus ujian semester dan kemudian menyusun strategi baru untuk membeli atau memesan proppsal, makalah, skripsi atau tesis setelah itu.
Sejak kebijakan sertifikasi diluncurkan maka terlihat respon guru- guru (kaum pendidik) cukup meningkat. Misal bila seminar digelar maka mereka datang dengan spontan , membayar, namun setelah itu ada yang senang hanya sekedar titip absen kemudian pergi atau hadir demi mengharap selembar sertifikat seminar. Ini adalah salah satu dampak buruk dari belum hadirnya budaya tulisan (membaca dan menulis) dalam dunia pendidikan.
Budaya membaca dan menulis juga belum menjadi bahagian gaya hidup mahasiswa, apalagi bagi mahasiswa yang kuliah pada universitas pinggiran. Kualitas pendidikan mereka susah untuk diandalkan dalam kompetisi pada bursa tenaga kerja. Fenomena jauhnya budaya membaca dan menulis dari gaya hidup mahasiswa teridentifikasi dari gaya hidup dan prilaku mereka. Pergi kuliah dengan tubuh dibungkus penuh assesori, tangan Cuma lebih senang menggenggam ponsel dari membawa bacaan yang berkualitas. Kemudian duduk atau jalan- jalan di depan kampus dengan karakter ”ala anak SLTA” berdialog dengan ekspressi bahasa cengeng dan kemanja-manjaan. Jauh dari kesan gaya mahasiswa yang intelektual dengan gaya bahasa atau bicara penuh analitis dan kritis.
Pastilah kini pemerintah, ahli pendidik dan para stakeholder menjadi lelah memikirkan karater kaum pendidik dan anak didik yang belum terbiasa dengan budaya tulisan- gemar membaca dan menulis. Fenomena inilah sebagai penyebab mutu bangsa yang besar ini susah untuk berkompentisi. Karena warganya belum terbiasa membaca dan menulis akibatnya mereka cuma memiliki pola fikiran yang kurang kritis dan analitis. Mengatasi fenomena ini lebih tepat dengan menghidupan kembali gerakan gemar membaca dan gemar menulis dari level pendidikan yang lebih rendah (Tk dan SD) sampai keperguruan tinggi yang langsung diimplementasikan dalam ehidupan dan bukan cuma hanya lewat seminar dan simposium yan hanya dihadiri oleh kalangan tertentu yang cendrung untuk mengkonsumsi buat memperkaya wawasan sendiri.
http://penulisbatusangakar.blogspot.com/

Sumber: http://edu-articles.com/budaya-membaca-dan-menulis-masih-minim-di-sekolah/#more-24

0 comments: