BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 11 Maret 2009

Anggaran Naik, Guru Merana

Senin, 16 February 2009

Anggaran Naik, Guru Merana

Oleh Waitlem

Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD sudah dipenuhi oleh pemerintah. Bahkan ada pemerintah kabupaten/kota yang menetapkan di atas 20 persen. Pemerintah kabupaten/kota di Sumatra Barat tidak ketinggalan, rata-rata memberikan perhatian besar terhadap sektor ini. Bukan hanya 20 persen, tetapi di atasnya. Pesisir Selatan misalnya, seperti dimuat Singgalang (14/2), menyediakan anggaran 40 persen. Kabupaten/kota lainnya juga sudah menyediakan anggaran yang memadai untuk sektor pendidikan.
Dilihat dari besarnya anggaran, seharusnya mutu pendidikan di Sumatra Barat lebih baik. Seperti disebutkan Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi, Sumbar diharapkan masuk 10 besar dalam UN 2009 ini. Melihat keseriusan pemerintah kabupaten/kota dan sokongan dari Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Sumbar, harapan tersebut bisa diwujudkan. Pertanyaannya, mengapa mutu pendidikan di Sumbar belum mampu menyaingi daerah lain, terutama mutu pendidikan di Pulau Jawa? Nah, inilah persoalan yang perlu kita pecahkan dan menjadi bahan renungan bersama.


Meningkatkan mutu pendidikan bukan masalah besar kecilnya anggaran, tetapi masalah program. Jangankan 20 persen, 60 persen pun anggaran untuk pendidikan dalam APBN/APBD tidak akan memengaruhi peningkatan mutu pendidikan kalau program yang dilaksanakan justru tidak terkait dengan peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Anggaran pendidikan yang besar akan menjadi sia-sia kalau program peningkatan mutu tidak ada.
Hingga sekarang, gubernur, bupati/walikota atau kepala dinas pendidikan baru sebatas mengekspos besarnya anggaran pendidikan. Semuanya seakan berlomba ‘melaporkan’ pemerintah memiliki komitmen yang tinggi dalam membangun pendidikan. Terlihat dari besarnya anggaran untuk sektor pendidikan dalam APBD. Namun jarang yang ‘melaporkan’ penggunaan anggaran tersebut. Belum jelas program apa yang akan dilakukan dengan dana besar tersebut.


Perlu dipertanyakan, apakah anggaran besar tersebut untuk membangun pendidikan atau membangun sarana pendidikan? Kalau anggaran digunakan untuk membangun pendidikan, berarti membangun tingkah laku. Bukankah pendidikan dimaksudkan mengubah tingkah laku seseorang ke arah yang lebih baik. Namun kalau anggaran sekedar membangun sarana pendidikan, berarti anggaran tersebut seharusnya berada di Dinas PU bukan anggaran untuk pendidikan, seperti membangun jalan ke sekolah, membangun sekolah baru, merehab gedung yang rusak, memperbaiki kursi atau mobiler sekolah, membangun taman sekolah. Pembangunan fisik tersebut tidak bisa dikatakan sebagai program pembangunan sektor pendidikan, sekalipun terkait dengan pendidikan.
Membangun pendidikan secara fisik belum tentu akan mampu mengangkat mutu pendidikan sebab mutu pendidikan pada dasarnya terkait dengan keberadaan guru, kurikulum dan siswa. Bahkan kita sudah terlanjur mengukur naik turunnya mutu pendidikan dari perolehan nilai murni pada Ujian Nasional (UN). Ketika nilai UN baik maka semua serentak mengatakan mutu pendidikan naik, begitu sebaliknya. Bahkan ada daerah yang langsung ‘meneriakkan’ kenaikan tersebut sebagai sebuah prestasi dan prestise.
Ketika pemerintah kabupaten/kota mengumumkan kenaikan anggaran pendidikan di atas 20 persen maka yang paling awal merasakan siksaan adalah guru. Guru dinilai pihak pertama yang akan menikmati kenaikan anggaran tersebut. Guru akan mendapatkan banyak kesempatan untuk mengikuti diklat (pendidikan dan latihan), guru akan menjadi sasaran pertanyaan ketika nilai peserta didik tak kunjung berubah. Pada akhirnya guru menjadi sasaran caci maki dari berbagai pihak yang tidak memahami pendidikan secara menyeluruh. Seakan-akan kesalahan mengambil kebijakan di bidang pendidikan merupakan kesalahan guru semata.
Realitanya, guru tidak menikmati kenaikan anggaran pendidikan tersebut. Ketika anggaran pendidikan naik, seharusnya perhatian terhadap mutu guru juga ditingkatkan, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Guru tetap saja tidak mendapatkan kesempatan mengikuti MGMP (musyawarah guru mata pelajaran), KKG (kelompok kerja guru), diklat pembelajaran, diklat pendalaman materi, diklat pengelolaan kelas dan diklat-diklat lainnya. Guru tidak mendapatkan kesempatan untuk menambah pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola pendidikan secara umum.


Lebih parah lagi siswa, mereka nyaris tidak mendapatkan pembekalan untuk kehidupannya selama duduk di bangku pendidikan. Mereka hanya mendapatkan materi pelajaran dari guru sepanjang hari dan jarang dihadapkan pada persoalan kesehariannya. Wajar jika akhir-akhir ini peserta didik tersebut sangat rentan terhadap pengaruh luar. Mereka tidak memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi berbagai persoalan keseharian. Mereka begitu mudah mengambil jalan pintas, minum racun, bunuh diri, mabuk-mabukan, narkoba dan beragam tindakan, yang merugikan diri sendiri.
Sudah saatnya ada anggaran pendidikan untuk membantu siswa keluar dari persoalan tersebut. Peserta didik membutuhkan psikolog, bukan sekedar guru yang mencecarnya dengan materi pelajaran yang mereka sendiri tidak memahami untuk apa materi itu diterimanya.


Para pakar pendidikan dan pengambil kebijakan seharusnya sudah memahami kondisi peserta didik saat ini. Mereka tidak lagi seperti peserta didik pada masa lalu. Mereka termasuk generasi serba instan. Ingin berhasil tanpa kerja keras, ingin lulus tanpa belajar, ingin nilai tinggi tanpa usaha. Di kelas, mereka seperti kehilangan motivasi, kehilangan gairah, lesu darah, kurang memiliki kepekaan. Sekalipun dalam setiap ujian, mereka mendapatkan nilai rendah (tidak tuntas), mereka masih tersenyum. Tidak ada rasa malu, rendah diri atau keinginan untuk mengubah cara belajar ke arah lebih baik. Mereka pasif. Jumlah peserta didik seperti ini lebih banyak daripada mereka yang sangat antusias menatap masa depannya.
Guru dan siswa dihubungkan oleh kurikulum. Karena tuntutan kurikulumlah guru berada di sekolah sampai sore. Karena kurikulumlah siswa belajar mati-matian atau tidak belajar sama sekali. Kurikulum ini pulalah yang menjadi ukuran keberhasilan pendidikan di Indonesia. Ketidakmampuan guru menjabarkan dan menerjemahkan kurikulum akan berdampak pada siswa dan mutu pendidikan. Pendidikan bermutu jika kurikulum bisa dijamah dengan tuntas oleh guru dan siswa.


Guru, siswa dan kurikulum merupakan komponen utama pendidikan. Anggaran pendidikan yang besar tidak akan berpengaruh apapun jika ketiga komponen ini tidak tersentuh. Karena itu besar kecilnya anggaran pendidikan seharusnya memengaruhi besar kecilnya perhatian terhadap guru, siswa dan kurikulum. Sekali lagi, sebesar apapun anggaran pendidikan tidak akan berarti apa-apa terhadap peningkatan mutu pendidikan jika guru, siswa dan kurikulum tidak menjadi perhatian utama.
Kita berharap tidak ada lagi anggaran pendidikan yang abu-abu. Anggaran pendidikan besar, di atas 20 persen dari APBD, tetapi guru dan siswa tidak pernah merasakan manfaatnya, bahkan tidak pernah tahu kegunaannya.*

0 comments: