BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Sabtu, 28 Februari 2009

"Welcoming School" untuk Semua Anak

PEMAHAMAN KONSEP PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS

DAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

  1. Pendahuluan

Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat, yang secara resmi disebut pendidikan luar biasa (PLB), selama beberapa dekade yang lalu telah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan itu terjadi dalam hal kesadaran dan sikap masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan. Sejarah menunjukkan pula bahwa selama berabad-abad di semua negara di dunia, individu yang berbeda dari kebanyakan individu lainya selalu ditolak kehadirannya oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa anggota kelompok yang terlalu lemah (penyandang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan, disingkirkan, tidak memperoleh sentuhan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna. Keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya.

Ketidaktahuan orang tua dan masyarakat pada masa lalu, mengenai hakekat dan penyebab kecacatan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul, misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandang cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa lampau anak-anak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat merupakan aib keluarga.

Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yamg sama untuk hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat. Menyelamatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi penting karena dipandang sebagai simbol dari sebuah peradaban yang lebih maju dari suatu bangsa, meskipun anak penyandang cacat membutuhkan bantuan ekstra (Miriam, 2001). Pandangan masyarakat dan orang tua yang menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investasi agar kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya, menjadi tidak dominan. Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai berdiri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan dan panti sosial yang secara khusus mendidik dan merawat anak-anak penyandang cacat. Mereka yang menyandang kecacatan, dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode yang khsusus pula sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu, pendidikan anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak lainnya.

++

Konsep pendidikan seperti inilah yang disebut dengan konsep Special Education, yang melahirkan sistem pendidikan segregasi. Di Indonesia, sistem pendidikan segregasi sudah berlangsung selama satu abad lebih, sejak dimulainya pendidikan anak tunanetra pada tahun 1901 di Bandung. Konsep special education dan sistem pendidikan segregasi lebih melihat anak dari segi kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan. Oleh karena itu terjadi dikotomi antara pendidikan khusus (PLB) dengan pendidikan reguler. Pendidikian khusus dan pendidikan regular dianggap dua hal yang sama sekali berbeda. Dilihat dari sudut pandang, pedagogis, psikologis dan filosofis, sistem pendidikan segregasi,(yang lahir dari konsep special education) mengandung beberapa kelemahan dan tidak menguntungkan baik bagi individu penyandang cacat itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Secara pedagogis, sistem pendidikan segregasi mengabaikan eksistensi anak sebagai individu yang unik dan holistik, sementara itu kecacatan anak lebih ditonjolkan. Secara psikologis, sistem segregasi, kurang memperhatikan kebutuhan dan perbedaan individual. Ada kesan menyeragamkan layanan pendidikan anak berdasarkan kecacatan yang disandangnya. Secara filosofis sistem pendidikan segregasi menciptakan dikotomi masyarakat eklusif normal dan tidak normal. Padahal sesunguhnya secara filosofis, penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat yang alami (David Smith, 1995).

Konsep dan pemahaman terhadap pendidikan anak penyandang cacat terus berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang berkembang saat ini, melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari sudut pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, perbedaan individu dan kebutuhan anak menjadi pusat perhatian. Dengan demikian layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi didasarkan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak. Oleh karena itu layanan pendidikan anak penyandang cacat tidak harus di sekolah khusus, tetapi bisa dilayani di sekolah regular terdekat dimana anak itu berada. Cara berpikir seperti ini dilandasi oleh konsep Special needs education, yang antara lain melatarbelakangi munculnya gagasan pendidikan inklusif (UNESCO, 1994).

Dalam konsep special needs education, sangat dihindari penggunaan label kecacatan, akan tetapi lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Sejalan dengan perubahan cara berpikir seperti digambarkan di atas, maka Anak Luar Biasa (Exceptional Children) tidak lagi dipandang dari kategori kecacatannya akan tetapi harus dilihat dari hambatan belajar yang dialami dan kebutuhan-kebutuhan akan layanan pendidikannya. Oleh karena itu anak luar biasa menjadi bagian dari Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs). Dengan kata lain Anak berkebutuhan khusus bukan pengganti istilah anak luar biasa. Layanan pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus, termasuk anak luar biasa adalah Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education).

Konsep Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)- Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education) dan Konsep Pendidikan Luar Biasa (exceptional children)-Pendidikan Luar Biasa (special education)

1. Anak Berkebutuhan Khusus dan Pendidikan Kebutuhan khusus

a. Anak Berkebutuhan Khusus

Konsep anak berkebutuhan khusus (children with special needs) memiliki makna dan spektrum yang lebih luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa (exceptional children). Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus ini memiliki apa yang disebut dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan (barier to learning and development). Oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh masing-masing anak.

Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu: anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, akibat dari kecacatan tertentu (anak penyandang cacat), seperti anak yang tidak bisa melihat (tunanetra), tidak bisa mendengar (tunarungu), anak yang mengalami cerebral palsy dst. dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer. Anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat temporer. Misalnya anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat trauma kerusuhan, kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar, atau tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak yang mengalami kedwibahasaan (perbedaan bahasa di rumah dan disekolah), anak yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan karena isolasi budaya dan karena kemiskinan dsb. Anak-anak seperti dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus temporer. Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak mendapatkan intervensi yang tepat sesuai dengan hamabatan belajarnya bisa menjadi permanen.

Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang berbeda-beda. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, disebabkan oleh tiga hal yaitu: (1) faktor lingkungan (2) faktor dalam diri anak sendiri, dan (3) kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak. Oleh karena itu layanan pendidikan didasarkan atas hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak. Dengan kata lain pendidikan lebih berpusat kepada anak (child center), bukan berpusat pada kurikulum dan kecacatan. Untuk memahami kebutuhan dan hambatan belajar setiap anak, dilakukan melalui sebuah proses yang disebut assessment. Dalam konteks pendidikan kebutuhan khusus, assessment menjadi kompetensi dasar seorang guru.

b. Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)

Pendidikan kebutuhan khusus adalah layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, dan sangat fokus pada hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual (Miriam, 2001). Pendidikan kebutuhan khusus memandang anak sebagai individu yang khas dan utuh, keragaman dan perbedaan individu sangat dihormati. Dilihat dari caranya memandang eksistensi seorang anak, pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) berbeda dengan jelas dari pendidikan khusus (special education). Dalam pendidikan khusus (special education), yang menjadi fokus perhatian tertuju kepada kecacatan anak (disability). Sedangkan pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) fokus kepada hambatan belajar dan kebutuhan anak. Ruang lingkup garapan disiplin ilmu pendidikan kebutuhan khusus meliputi tiga hal yaitu: Pertama, mencegah timbulnya hambatan belajar dan hambatan perkembangan pada setiap anak. Kedua mengkompensasikan hambatan yang dimiliki anak dan Ketiga, menangani hambatan (intervensi).

Mencegah Timbulnya Hambatan. Timbulnya hambatan belajar dan hambatan perkembangan baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanen bisa terjadi karena fakator internal anak itu sendiri atau bisa juga karena faktor ekternal. Fungsi pendidikan kebutuhan khusus adalah mencegah munculya hambatan-hambatan belajar dan hambatan perkembangan, atau sekurang-kurangnya dapat meminimalkan hambatan itu, sehingga anak dapat berkembang optimal. Apabila dalam kenyataanya hambatan itu tidak dapat dihindari, maka upaya yang harus dilakukan adalah memperkecil dampak sosial-psikologis dari hambatan itu, sehingga anak tetap dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan hidup berkualitas. Dengan kata lain individu menjadi terbisa dan bersahabat dengan hambatan dan masalah yang dimilikinya, tetapi tetap dapat berkembang optimal. Dalam istilah lain disebut dengan coping. Sebagai contoh, seorang yang mempunyai hambatan karena tidak bisa melihat (tunanetra). Pendidikan harus dapat mencegah agar tidak muncul komplikasi sebagai dampak dari ketunanetraan, seperti misalnya putus asa, rendah diri, sukar berkomuniksi dsb. Jika dampak itu bisa dicegah maka kemungkinan orang tersebut dapat berkembang optimal meskipun ia tidak bisa melihat. Mengkompensasikan Hambatan. Apabila individu mengalami hambatan, terutama yang bersifat permanen, seperti misalnya anak tidak bisa melihat (tunananetra), tidak bisa mendengar (tunarungu), tidak bisa menulis karena cerebral palsy, kesulitan membaca karena dysleksia dst, maka harus dicarikan upaya konpensasi dari hamabatan yang dialami. Sebagai contoh, individu yang tidak bisa melihat (tunanetra), tidak mungkin bisa membaca tulisan, dan akan mengalami kesulitan untuk bepergian. Konpensasi dari kesulitan itu adalah tulisan braille agar tunanetra dapat membaca dan orientasi-mobilitas agar dapat bepergian. Individu yang tunarungu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara lisan, konpensasinya adalah bahasa isyarat atau komunikasi total. Individu yang tidak dapat menulis akibat kesulitan gerak, kompensasinya adalah anak tidak ditutut untuk ikut ujian tertulis tetapi dapat dilakukan dengan lisan. Individu yang tidak bisa berbicara bukan karena tunarungu, konpensainya adalah komunikasi alternatif dan argumentatif.

Di dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus, agar anak dapat mengatasi hamabatan-hamabatan itu, ajarkan apa yang disebut dengan keterampilan konpensatoris (compensatory skills). Menangani Hambatan (Intervensi) Intervensi adalah upaya memberikan layanan kepada anak berkebutuhan khusus, agar dapat berkembang optimal. Dalam melakukan program intervensi, perlu diketahui hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual, karena pendidikan kebutuhan khusus fokus kepada individu anak.

Setiap anak memiliki hambatan belajar dan kebutuhan layanan pendidikan yang berbeda-beda. Untuk mendapatkan data tentang hambatan belajar dan kebutuhan akan layanan pendidikan, dilakukan dengan asesmen. Melalui asesmen dapat diketahui secara spesifik dan kongkret tentang hambatan yang dialami, keterampilan yang sudah dimiliki (perkembangan saat ini) dan kebutuhan akan layanan pendidikan. Berdasarkan data hasil asesmen itulah dapat dikembangkan program intervensi, yang didalamnya mencakup antara lain tujuan, pendekatan dan prosedur, lingkup materi dan evaluasi. Program intervensi ini lazimnya dikemas dalam bentuk program pembelajaran individual (Individualized Educational program). Perlu juga dipahami dengan jelas, penggunaan konsep Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education) dengan istilah Kebutuhan khusus akan pendidikan (Special Educational Needs). Konsep pendidikan kebutuhan khusus menjelaskan tentang disiplin ilmu yang objeknya adalah anak-anak yang mempunyai hambatan belajar dan hamabatan perkembangan (Anak berkebutuhan khusus). Sedangkan istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (Special Educational Needs) menjelaskan tentang kebutuhan-kebutuhan khusus secara individual anak akan layanan pendidikan. (Alcott, 20020). Misalnya Si A mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan Si B karena masing-masing mempunyai hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang berbeda. Oleh karena itu kedua anak itu memerlukan layanan pendidikan yang berbeda pula.

Perubahan paradigma ini secara keseluruhan merupakan proses peningkatan mutu pendidikan. Setiap anak mempunyai peluang yang sama untuk berkembang karena setiap anak akan mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan hambatan belajar dan kebutuhannya.. Konsekuensi yang paling penting dari perubahan paradigma tersebut adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman. Hal itu juga menghasilkan upaya-upaya untuk membawa anak berkebutuhan khsusus kembali ke kehidupan masyarakat mereka yang sebelumya telah dipisahkan. Untuk melihat perbedaan antara konsep special needs education sebagai paradigma baru dengan special education. Untuk melihat perbedaan orientasi antara Pendidikan Luar biasa (special education) dengan Pendidikan Kebutuhan khusus (Special Needs Education), secara singkat dijelaskan tentang konsep anak luar biasa dan pendidikan luar biasa sebagai berikut:

2. Anak Luar Biasa (Exceptional Children) dan Pendidikan Luar biasa (Special
Education)

Anak Luar Biasa (Exceptional Children). Selama ini di dalam masyarakat terjadi pengelompok individu anak berdasarkan label cacat dan tidak cacat. Ada kelompok individu anak yang biasa, tidak memiliki kecacatan dan ada individu anak yang menyandang cacat, yang disebut luar biasa. Cara pendangan dikotomi seperti ini mengakibatkan terciptanya dua kelompok masyarakat yang masing-masing berada pada daerah yang berbeda. Terjadi apa yang disebut eklusifitas. Istilah anak luar biasa merupakan terjemahan dari istilah exceptional children, yaitu kelompok anak memiliki ketunaan pada aspek sensoris, (tunanerta dan tunaarungu), ketunaan pada aspek gerak (tunadaksa), ketunaan pada aspek perkembangan kognitif (tunagrahita, kesuliatan belajar, autisme), anak yang memiliki ketunaan pada aspek emosi dan tingkah laku (ADD/ADHD, Emotional and behavioral disorder). Kelompok anak yang diberi label anak penyandang cacat seperti itu dianggap tidak akan dapat mengikuti pendidikan bersama-sama dengan anak pada umumnya. Oleh karena itu mereka memperoleh layananan pendidikan secara khusus ditempat khusus (Sekolah luar Biasa) menurut label kecacatannya.

b. Pendidikan Luar Biasa (Special Education)

Pendidikan Luar Biasa adalah layanan pendidikan yang bersifat khusus untuk anak penyandang cacat/ketunaan. Kekhususan pendidikan didasarkan pada label kecacatan yang dimiliki oleh setiap anak. Anak tunanetra dilayani pendidikannya di sekolah khusus untuk tunaetra, demikian juga untuk anak penyandang cacat/ketunaan lainnya. Setiap jenis sekolah khusus memiliki kurikulum tersendiri yang berbeda-satu sama lain. Dalam konsep pendidikan luar biasa, anak-anak penyandang cacat dikumpulkan dalam satu sekolah yang identitasnya adalah label kecacatan/ketunaan. Pendidikan khusus bagi penyandang cacat seperti ini disebut dengan pendidikan segregaatif. Dengan demikian terdapat dua sistem pendidikan yaitu pendidikan untuk anak pada umumnya (anak biasa) yang disebut sekolah reguler dan pendidikan untuk anak penyandang cacat (anak luar biasa), yang disebut Pendidikan Luar Biasa di sekolah khusus (SLB). Konsep pendidikan luar biasa, pada saat ini sedang mengalami proses perubahan ke arah pendidikan kebutuhan khusus yang lebih fokus kepada hambatan belar anak dan kebuatuhan anak, bukan kepada lebel kecacatnya. Oleh karena itu jangkauan pendidikan kebutuhan khusus menjadi lebih luas. Anak berkebutuhan khsusus tidak perlu dilayani pendidikannya di sekolah khusus, mereka dapat memperoleh pendidikan di sekolah reguler, sepanjang hambatan belajar dan kebutuhannya dapat dilayanai. Inilah salah satu alasan yang melatarbelakangi pendidikan inklusif.

3. Implikasi Terhadap Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus dan Sistem Pendidikan Guru.

a. Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan khusus dalam Setting Inklusi
Pendidikan kebutuhan khusus berpijak pada hambatan belajar dan kebutuhan anak. Oleh karena itu misi pendidikan yang paling penting adalah meminimalkan hambatan belajar dan memenuhi kebutuhan belajar anak. Setiap anak dihargai eksistensinya, ditumbuhkan harga dirinya, dikembangkan motivasinya dan diterima sebagaimana adanya, sehingga setiap anak akan berkembang optimal sejalan dengan potensi masing-masing. Pendidikan dipandang sebagai upaya memberdayakan individu yang memiliki keragaman. Anak tidak lagi dibeda-bedakan berdasarkan label atau karakteristik tertentu dan tidak ada diskriminasi antara anak yang satu dengan lainnya. Semua anak berada dalam satu sistem pendidikan yang sama. Pendidikan seperti inilah yang dimaksud dengan pendidikan inklusif. Secara lebih kongkrit UNESCO (1994), memberikan gambaran bahwa pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali ada perbedaaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa minoritas dan kelompok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan one school for all. Pendidikan inklusif merupakan idiologi atau cita-cita yang ingin kita raih. Sebagai idiologi dan cita-cita, pendidikan inklusif harus menjadi arah dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu pendidikan inklusif tidak diartikan sebagai model pendidikan atau pendekatan pendidikan yang memasukkan anak penyandang cacat ke sekolah regular semata-mata. Sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa pendidikan inklusif itu sebagai idiologi dan cita-cita, dan bukan sebagai model, maka akan terjadi keragaman dalam implimentasinya, antara negara yang satu dengan yang lainnya, antara daerah yang satu dengan yang lainnya atau bahkan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya. Proses menuju pendidikan inklusif akan sangat tergantung kepada sumberdaya yang dimiliki oleh masing-masing negara, daerah atau sekolah. Meskipun terjadi keragaman dalam implementasinya, tidak ada perbedaan filosofi dan konsep yang digunakannya, karena berangkat dari sumber yang sama. Dalam rangka memperkenalkan pendidikan inkusif menuju pendidikan yang berkualitas, diperlukan adanya perubahan opini, pemahaman dan sikap para penyelenggara pendidikan (guru, kepala sekolah, administrator/pengambil kebijakan pendidikan, orang tua dan masyarakat pada umumnya), terhadap anak dan pendidikannya, sejalan dengan pendirian pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif. Dalam mengkampanyekan konsep pendidikan inklusif kepada masyarakat, diperlukan strategi dan metode yang tepat dan sistematik agar tidak terjadi resistensi dan kesalahfahaman. Sebagai langkah awal dalam mewujudkan pendidikan inklusif, dapat ditempuh dengan mulai memperkenalkan konsep sekolah yang ramah dan terbuka (welcoming school), sebagai sekolah masa depan dan guru yang ramah (welcoming teachers) kepada penyelenggara dan pengambil kebijakan pendidikan.

Sekolah yang Ramah dan Terbuka (Welcoming School)

Pendidikan inklusif saat ini sedang diperkenalkan kepada masyarakat, namun ada kesan bahwa para penganjur pendidikan inkusif (termasuk pakar dari perguruan tinggi dan pemerintah) bertindak terlalu cepat, dan tidak sabar ingin segera mengimplementasikan pendidikan inklussif secara luas. Sebagai contoh Dinas Pendidikan Nasional Jawa Barat pada tahun 2003-2004 mulai mengimlementasikan pendidikan inklusif di 75 Sekolah Dasar (Budi Hermawan, 2003). Tindakan yang terlalu cepat seperti ini, mempunyai peluang cukup tinggi untuk gagal, karena secara konsep belum difahami dengan utuh oleh semua pihak, sehingga konsep pendidikan inklusif difahami secara tidak tepat dan belum tumbuh sikap positif para penyelenggara pendidikan di lapangan terhadap anak berkebutuhan khusus.

Dalam rangka memperkenalkan pendidikan inklusif, sering kali dilakukan seminar dan lokakarya yang melibatkan para penyelenggara pendidikan di lapangan dalam jumlah besar. Akan tetapi sering ada keluhan dari para peserta bahwa setelah mengikuti seminar/lokakarya itu, mereka tetap belum mendapatkan informasi yang jelas bahkan kadang-kadang terjadi kesimpangsiuran dalam memahami konsepnya, sehingga terjadi penolakan dari para guru di lapangan, mungkin karena para guru salah dalam memahami konsepnya atau boleh jadi ada kekuranglengkapan informasi dari nara sumber dalam menyampaikan informasinya. Sebagai contoh, seorang guru Sekolah Dasar mengatakan "Mengajar 40 orang anak normal sudah repot, apalagi harus menerima anak cacat, tidak mungkin bisa dilakukan." Contoh lain, para Guru SLB merasa tidak nyaman dan merasa terancam apabila konsep pendidikan inklusif diimplementasikan. Mereka beranggapan SLB akan dibubarkan dan mereka akan kehilangan pekerjaan. Disadari bahwa sesungguhnya kita semua saat ini sedang belajar tentang anak berkebutuhan khusus, pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif secara komprehensif dan mendalam. Akan tetapi kadang-kadang kita tidak sabar, ingin segera menyampaikannya kembali kepada orang lain, padahal sesungguhnya kita belum memahaminya dengan benar. Bisa terjadi, ketika kita menjelaskan kembali konsep pendidikan inklusif kurang lengkap, sehingga difahami oleh orang lain secara tidak lengkap pula. Keadaan seperti itu sungguh mengkhawatirkan dan akan mengganggu jalannya proses menuju pendidikan inklusif. Oleh sebab itu harus ada perubahan strategi dalam mengkampanyekan pendidikan inklusif dengan tidak langsung menyampaikan konsep pendidikan inklusif, akan tetapi dimulai dengan memperkenalkan konsep sekolah yang ramah dan guru yang ramah.

Secara empirik, hampir di sekolah regular di banyak tempat (terutama di Sekolah Dasar), ditemukan anak berkebutuhan khusus temporer. Akan tetapi kadang-kadang para guru tidak menyadarinya. Keadaan seperti ini merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk membangkitkan kesadaran para guru bahwa mereka sesungguhnya sudah mulai menerima anak berkebutuhan khusus di sekolahnya. Apabila titik tolak pembicaraan mengenai pendidikan inklusif dimulai dari apa yang sudah mereka miliki dan sudah mereka lakukan di sekolah, akan sangat mudah bagi para guru untuk menerimanya dibanding dengan sesuatu yang sama sekali asing bagi mereka.

Diskusi dengan guru sekolah regular dalam jumlah kecil akan lebih efektif jika dibandingakan dengan seminar/lokakarya. Hal-hal yang perlu didiskusikan dengan para guru di sekolah regular adalah tentang sekolah yang ramah dan terbuka yang antara lain ditandai oleh: (1) Tidak diskriminatif (2) Pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman individu anak (3) Fasilitas belajar dan lingkungan memberi kemudahan dan rasa aman kepada setiap anak (aksesibitas) (4) Guru bekerja dalam tim (5) Keterlibatan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah.

Asuhan HIDAYAT (Dosen PLB & Psikologi FIP UPI)

0 comments: